Meninjau Danau Maninjau

maninjau pagi hari Sebagai sebuah lokasi peristirahatan, Danau Maninjau di Sumatera Barat (Sumbar) memang cukup menarik. Paduan pegunungan hijau, kabut serta riak air danau menjelang sore memberikan pemandangan yang sempurna untuk dinikmati sambil minum secangkir kopi plus camilan keripik balado.

Maninjau merupakan danau vulkanik. Cekungannya terbentuk karena letusan Gunung Merapi. Gunung itu berketinggian 2.891 meter dari permukaan laut (mdpl) yang berada di sekitar Maninjau. Namun jika merunut pada legenda di Ranah Minang, keberadaan Danau Maninjau berkaitan erat dengan kisah Bujang Sembilan.

Ada sebuah keluarga terdiri dari 10 orang, 9 orang laki-laki atau disebut bujang dan seorang perempuan bernama Sani. Keelokan paras dan perilaku Sani, menjadi daya pikat tersendiri bagi pemuda bernama Sigiran. Belakangan, datang tuduhan dari Bujang Sembilan bahwa pasangan sejoli ini telah melakukan perbuatan amoral.

Bantahan atas tudingan itu ditunjukkan kedua insan itu dengan cara meloncat terjun ke kawah gunung. Jika gunung meletus, berarti tuduhan itu benar. Ternyata gunung tidak meletus. Sedangkan kawah kemudian membesar dan kemudian terbentuklah danau tersebut. Karena tuduhannya tidak terbukti, para Bujang Sembilan kemudian dikutuk menjadi ikan.

Sementara dari segi nama, Maninjau berasal dari kata Tinjau. Dahulu ada satu rombongan hanya ingin meninjau saja. Namun belakangan ternyata justru menetap di sana. Jadilah kawasan tempat menetap itu dinamakan Maninjau.

Secara geografis, Maninjau berada di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, sekitar 140 kilometer sebelah utara Kota Padang, ibukota Sumbar. Danau ini berada di ketinggian 461,50 mdpl. Sementara luas permukaan danau sekitar 99,5 kilometer persegi, dengan kedalaman maksimum 495 meter.

Secara keseluruhan, Maninjau merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, sedangkan di Sumbar merupakan danau terluas kedua dari empat danau di provinsi tersebut. Di urutan pertama, Danau Singkarak dengan luas mencapai 129,69 kilometer persegi, yang berada di dua kabupaten, Tanah Datar dan Solok, serta Danau Di Bawah dan Danau Di Atas di Kabupaten Solok. Kendati terluas kedua, namun pengunjung lebih banyak mendatangi Maninjau. Fasilitas penginapan juga lebih banyak di sini. Puluhan hotel berbintang hingga penginapan kelas homestay berada di tepian danau, selalu kebagian pengunjung. Salah satu pemandangan itu, terlihat di Hotel Pasir Panjang Permai. Sebuah penginapan kelas bintang satu dengan posisi strategis di tepian danau.

Awal Mei lalu, sekitar 20 turis dari Eropa menginap di sini. Kedatangan mereka pertanda kehidupan pariwisata Maninjau masih berjalan normal. Jaraknya yang cukup dekat dengan ikon wisata Sumbar, yakni Kota Bukit Tinggi, menjadi salah satu penyebab. Hanya 36 kilometer. Jika mengendarai mobil, jarak tempuhnya sekitar 45 menit. Sekitar 15 menit menjelang danau, perjalanan akan melewati Kelok Ampek Puluh Ampek, penurunan tajam sebanyak 44 kelokan. Setiap kelokan memang patah. Nomor urut setiap kelokan, terpampang pada signboard di tiap sudutnya.

Berhenti pada kelokan kedua di Embun Pagi, yakni kelok nomor 43, akan terlihat keseluruhan lekuk danau dari utara ke selatan. Namun jika datang dari Padang, sajian pemandangan juga menarik. Mulai dari hutan rakyat, air terjun Lubuk Sao, hingga pusat pembangkit listrik tenaga air yang dioperasikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Melayang ke Langit

Bagi Anda yang belum pernah singah, sempatkanlah meninjau ke Maninjau. Danau ini menjanjikan kedamaian yang padu. Keindahannya tidak kalah dengan danau-danau di Luzern, Zurich, atau Swiss yang terkenal di seluruh dunia. Mulai pagi hingga malam menjelang, danau memberikan nuansa pemandangan yang beragam.

Pagi hari, kabut tebal menutupi hampir seluruh permukaan danau. Namun, begitu matahari mulai terbit, perlahan kabut mulai menipis. Melayang ke langit. Lantas pegunungan Bukit Barisan yang ada di depannya terlihat utuh. Deretan hijau yang menjaga ketersediaan air danau. Pagi juga kesempatan untuk menyaksikan petani keramba jala apung memberi makan ikan.

Sementara sampan-sampan berpenumpang tunggal hilir-mudik memeriksa jala yang dipasang pada beberapa sisi danau. Begitu matahari mulai naik, sebagian besar pengunjung umumnya memanfaatkan kesempatan untuk mengelilingi danau dengan menggunakan sepeda atau sepeda motor. Menyaksikan aktivitas warga yang masih kental dengan adat budaya. Tersedia juga tempat untuk jungle tracking.

Sempatkanlah berkunjung ke Kampung Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang Maninjau. Di sini terdapat rumah tempat lahirnya Haji Abdul Malik Karim Amirullah yang dikenal dengan nama Buya Hamka. Sastrawan Indonesia yang terkenal dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck itu, lahir di desa ini pada 16 Februari 1908. Rumah kelahirannya yang berdiri di pinggir jalan menghadap persis ke arah danau, berupa rumah kayu dengan ukuran 17 x 9 meter yang berdiri di areal sekitar 75 meter persegi.

Tidak cuma itu. Menyaksikan hamparan sawah di sekitar danau juga kegiatan yang mengasyikkan. Menyeberanglah dengan sampan ke pulau yang ada di tengah danau, Pulau Angsa Dua dan Pulau Akaik. Kedua pulau yang tidak terlalu luas ini dimanfaatkan sebagai penginapan oleh warga sekitar.

Di Maninjau, pada pertengahan tahun biasanya juga ada kejuaraan nasional paralayang. Lokasi take off-nya ada di Puncak Lawang, Kecamatan Matur. Titik terbang yang berada di ketinggian 1.210 meter ini bisa ditempuh sekitar 15 menit dari danau dengan menggunakan kendaraan bermotor. Lokasinya memang menarik. Latar belakang pemandangan ke arah bawah, terhamparlah wajah tenang Danau Maninjau. Pemandangan serba hijau segar, dengan langit biru cerah. Udara yang sejuk terasa membersihkan paru-paru.


Menjelang senja, kesempatan untuk memotret sunset. Tapi sepertinya butuh keberuntungan. Keindahan danau tertimpa sinar emas matahari menjelang tenggelam, tak selalu bisa disaksikan utuh. Kabut dan awan tebal sering menghalangi pandangan. Hanya pada beberapa titik sinar emas matahari menembus awan. Namun bola matahari jarang terlihat.

Kendati malam hari kesunyian begitu terasa di Maninjau, namun menikmati desau angin danau bisa dilakukan pada kafe-kafe yang ada di sana. Nikmati segelas cappucino hangat dengan cemilan khas seperti karah kaliang, dakak, atau keripik balado. Kafe-kafe di sini umumnya bernuansa sederhana dan menyenangkan, dengan sajian utama kerlip lampu di tepian danau.

Misalnya di Waterfront. Selain di bangunan utama, bisa juga duduk di saung yang menghadap danau. Jika minum sendirian, kesempatan ini adalah momen untuk merenungkan kebesaran Tuhan.

sumber :wisatanet

0 Comments:

Post a Comment